Akhir-akhir ini, volume pekerjaan meningkat. Deadline makin ketat, revisi datang dadakan, dan staf administrasi sering diminta lembur sampai malam.
Kadang bukan kerjaan utamanya, tapi diminta bantu laporan tambahan, entah karena “darurat” atau “sekalian aja deh, kamu udah paham sistemnya.”
Setelah kerjaan beres, pujian mungkin terdengar. Tapi ketika dompet tetap setipis sebelum lembur dimulai, dan makan malam terlewat demi tenggat yang mepet, muncul pertanyaan kecil dalam hati: “Kerja ekstra segini… apa iya cuma dibayar ‘makasih’?”
Mungkin Bukan Karena Jahat, Tapi Lupa
Dari sisi atasan, ini mungkin bukan soal sengaja abai. Bisa jadi memang karena fokusnya ke target dan laporan akhir bulan, hal-hal kecil seperti kompensasi kerja tambahan jadi luput diperhatikan.
Tapi justru di situ masalahnya. Ketika usaha ekstra tidak dihargai secara proporsional, semangat bisa pelan-pelan surut. Bukan karena tidak loyal, tapi karena merasa tidak dianggap.
Dalam Islam, hal seperti ini bukan perkara sepele. Ada prinsip dasar yang ditekankan langsung dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَبْخَسُوا۟ ٱلنَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ
“Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-hak mereka.” (QS. Al-A’rof: 85)
Ayat ini bukan hanya soal timbangan di pasar, tapi berlaku juga dalam dunia kerja. Hak pekerja, termasuk upah lembur, harus dipenuhi secara adil.
Hukum Negara Bicara dengan Jelas
Menurut UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 77–78, lembur memang dibolehkan. Tapi wajib ada kompensasi: baik berupa upah lembur, waktu istirahat tambahan, maupun fasilitas lain yang menunjang.
Kalau tidak dipenuhi? Ya bukan soal hitung-hitungan tapi soal keadilan.
ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: (منهم) وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
“Tiga orang yang akan aku lawan di hari Kiamat: (salah satunya) orang yang mempekerjakan buruh lalu si buruh menyelesaikan pekerjaannya namun tidak diberi upah.” (HR. Al-Bukhori)
Para Salaf juga tegas soal ini, seperti Umar bin Khottob Radhiyallahu ‘Anhu pernah berkata:
“Catatlah jam kerja dan jam lembur para pekerja, lalu bayarlah dengan sempurna.” (Al-Amwal)
Sedangkan Imam Syafi’i Rahimahullah juga menekankan:
“Tidak halal mempekerjakan seseorang tanpa kejelasan upah dan waktunya.”
Artinya, menghargai kerja orang lain bukan soal formalitas, tapi adab dan akhlak yang dijaga sejak zaman dahulu.
Lalu Solusinya?
Ketika lembur tak bisa dihindari, ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan oleh kedua pihak:
1. Karyawan bisa menyampaikan beban kerja dengan sopan, disertai catatan jam lembur sebagai bukti. Ini bukan soal protes, tapi menjaga hak dan komunikasi sehat.
2. Perusahaan sebaiknya memberi apresiasi yang layak, entah berupa upah lembur, waktu istirahat tambahan, atau fasilitas sederhana seperti makan malam bagi tim lembur.
3. Jika muncul selisih paham, utamakan musyawarah internal. Bila tak selesai, jalur hukum seperti mediasi atau laporan ke dinas terkait bisa jadi pilihan terakhir tentu dengan tetap menjaga adab dan etika.
Menghargai kerja lembur bukan soal material semata tetapi tentang adilnya relasi antara tenaga dan imbalan.
(***)