Turnover Perusahaan Ngebut, Salah Manajemen atau Generasi Mental Tempe?

Rasanya baru sebentar rekrutmen dibuka, sekarang sudah harus cari pengganti lagi. Baru sempat kenalan, sudah dapat kabar resign.

Rutinitas semacam ini mulai terasa melelahkan—bukan cuma untuk HR, tapi juga untuk tim yang harus terus menyesuaikan diri dengan anggota baru.

Mungkin awalnya kita mengira ini soal mental generasi baru yang tidak tahan banting. Tapi, bagaimana kalau masalahnya justru ada di dalam sistem kerja kita sendiri?

Seorang supervisor yang mulai merasa lelah melihat banyaknya surat pengunduran diri memutuskan untuk berhenti menyalahkan “anak zaman sekarang mentalnya tempe”. Nope, dont do that!

Sebab jika dicermati, bisa jadi yang perlu dikaji ulang adalah ekspektasi kerja, budaya kantor, dan sejauh mana karyawan merasa dihargai.

Faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Dalam teori modern Two-Factor Theory, motivasi kerja terbagi menjadi dua yaitu: Hygiene Factors dan Motivator Factors.

– Hygiene Factors seperti gaji, tunjangan, lingkungan kerja, dan kebijakan perusahaan. Tidak membuat orang termotivasi, tapi jika tidak terpenuhi, bisa bikin tidak betah.

– Motivator Factors seperti pengakuan, tanggung jawab, dan kesempatan berkembang. Ini yang membuat orang ingin bertahan dan berkembang.

Jika hanya Hygiene terpenuhi, tapi motivasi kerja tidak ada, maka turnover tetap tinggi atau sebaliknya, punya semangat kerja tapi lingkungan kerja toksik, juga bisa bikin cepat angkat kaki.

Meskipun teori Two-Factor Theory telah ditemukan pada tahun 1959, Islam telah berpikir jauh ke depan saat membicarakan tentang pembagian kerja yang adil dan juga tanggung jawab.

Islam Menekankan Tanggung Jawab Kolektif

Allah ﷻ  menegaskan pentingnya kerja sama dan pembagian tugas yang adil:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَانٌ مَّرْصُوصٌ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang kokoh.” (QS. Ash-Shoff: 4)

Ketimpangan beban kerja atau suasana tidak suportif bisa membuat tim rapuh. Allah juga memerintahkan untuk saling menolong dalam kebaikan:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhori)

Dan juga:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhori)

Dalam konteks kerja, artinya setiap anggota tim wajib mendukung satu sama lain dan menjaga keseimbangan kerja agar tidak timpang.

Langkah Kecil untuk Perubahan Besar

Tanpa perlu overhaul besar, beberapa kebiasaan ini bisa jadi awal membangun lingkungan kerja yang lebih sehat:

– Exit Interview Jujur: Cari tahu alasan sebenarnya karyawan keluar tanpa defensif.

– Mentoring System: Karyawan baru butuh adaptasi, bukan langsung diminta mandiri.

– Feedback Dua Arah: Sediakan ruang untuk mendengar, bukan hanya menyuruh.

– Ubah Gaya Kepemimpinan: Dari “commanding” menjadi lebih “coaching”.

– Apresiasi Perkembangan: Sekecil apapun progres karyawan, layak dihargai.

Tingginya turnover bukan tanda generasi lemah. Itu alarm bahwa ada yang perlu dibenahi dari sistem, komunikasi, dan budaya kerja. Islam, psikologi, dan pengalaman manajerial mengajarkan: kerja tim yang sehat dibangun dari keadilan, kolaborasi, dan saling dukung.

Merasa artikel ini bermanfaat, bagikan ke teman dan atasanmu agar bisa mendapatkan bacaan ringan seputar dunia kerja di Dakwah Korporat.

(***)