Kenapa Karyawan Diam-Diam Cari Kerja? Bisa Jadi Bukan Gajinya, Tapi Gaya Komunikasi

Semuanya tampak baik-baik saja. Tidak ada keluhan, tugas-tugas selesai tepat waktu, bahkan kadang masih sempat bercanda saat coffee break.

Tapi mendadak muncul surat resign, padahal seminggu sebelumnya masih tertawa bareng di pantry. Bingung? Wajar.

Fenomena ini sebenarnya lumrah. Banyak karyawan memutuskan hengkang diam-diam, bukan karena gaji atau workload, tapi karena merasa nggak nyaman secara emosional. 

Instruksi kerja pasti perlu tapi kalau setiap obrolan selalu terasa seperti teguran, atau setiap percakapan minim empati, lama-lama karyawan akan malas bicara lagi.

Kalau sudah begitu, komunikasi hanya jadi formalitas. Akhirnya, karyawan lebih memilih mencari tempat baru yang terasa lebih manusiawi.

Setelah Gaji, Orang Butuh Dihargai

Dalam teori Maslow’s Hierarchy of Needs, setelah kebutuhan fisik dan keamanan finansial terpenuhi, manusia akan mencari rasa diterima, dihargai, dan terhubung.

Dalam konteks kantor, itu berarti merasa didengar, diapresiasi, dan dilibatkan dalam percakapan.

Jika yang mereka terima justru bentakan, perintah sepihak, atau atasan cenderung stecu (setelan cuek) saat ingin diajak bicara—itu bisa memicu rasa tak aman secara emosional.

Saat rasa itu terus tumbuh, karyawan tak akan bertahan lama. Mereka akan mencari tempat baru yang terasa lebih manusiawi.

Mari Tabayyun, Bukan Asal Tuding

Dalam QS. Al-Hujurot: 6, Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌۭ بِنَبَإٍۢ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًۭا بِجَهَـٰلَةٍۢ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَـٰدِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka tabayyun (periksalah dengan teliti) agar kalian tidak mencelakai suatu kaum karena kebodohan (prasangka), yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu.”(QS. Al-Hujurot: 6)

Ayat ini menekankan pentingnya klarifikasi dan komunikasi terbuka sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan.

Dalam konteks resign diam-diam, bisa jadi akar masalahnya adalah miskomunikasi yang tidak pernah diklarifikasi.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila ia menceritakan semua yang ia dengar (tanpa verifikasi).” (HR. Muslim)

Ini menjadi peringatan bahwa menyampaikan informasi tanpa kejelasan bisa memperkeruh suasana dan menyulut konflik.

Umar bin Al-Khotthob Rodhiyallahu ‘Anhu pernah berkata:

“Bukanlah orang yang paling aku sukai itu yang tidak pernah bersalah, tapi yang jika salah, ia segera meminta maaf; dan jika aku bersalah padanya, ia segera memaafkan.”

Perkataan ini menegaskan pentingnya sikap terbuka, rendah hati, dan membangun komunikasi dua arah yang saling memahami.

Mulai dengan Jadi Pendengar yang Baik

Sebagai atasan, tidak harus selalu tampil super ramah. Tapi minimal, jadilah pendengar. Tanyakan kabar tim. Lakukan check-in, bukan sekadar check-list. Dengarkan isi kepala dan hati mereka.

Komunikasi yang sehat itu bukan soal keras atau lembut, tapi soal rasa aman. Tim yang merasa bisa bicara tanpa takut disalahpahami akan jauh lebih loyal.

komunikasi yang baik bukan hanya soal menyampaikan, tapi juga soal mendengarkan. Dan kadang, karyawan resign bukan karena tak setia, tapi karena tak didengarkan.

(***)