Cuti Tapi Tetap Dikejar Tugas? Waktunya Bilang ‘Maaf, Saya Lagi Cuti’ Tanpa Rasa Bersalah!

Cuti Tapi Tetap Dikejar Tugas? Waktunya Bilang ‘Maaf, Saya Lagi Cuti’ Tanpa Rasa Bersalah!

Bayangkan sedang staycation di pegunungan. Udara sejuk, sarapan roti dan teh hangat, suasana sunyi damai. Lalu HP bergetar:

“Kak, revisi presentasi yang kemarin udah bisa dicek belum ya?”

Sekilas hanya satu pesan. Tapi cukup untuk mengganggu ketenangan, memecah konsentrasi, dan menyulap liburan santuy jadi mode kerja terselubung.

Fenomena seperti ini bukan hal langka. Banyak pekerja mengalami hal serupa—dihubungi saat cuti, diminta menyelesaikan tugas, atau diminta standby seolah waktu pribadi adalah fitur opsional.

Antara Niat Baik dan Kurangnya Kesadaran

Permintaan semacam itu sering kali bukan karena niat buruk. Bisa jadi atasan memang merasa hanya satu orang yang menguasai alur kerja. Atau mungkin, budaya menghargai waktu istirahat belum terbentuk dengan baik.

Namun, jika terus terjadi, dampaknya bisa cukup serius. Waktu pribadi terganggu, beban mental bertambah, dan kesehatan pun ikut terdampak.

Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:


وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa’: 58)

Ayat ini menekankan pentingnya keadilan—termasuk dalam relasi kerja. Saat karyawan sedang cuti, maka seharusnya mereka tidak diganggu.

Mengganggu hak istirahat tanpa alasan mendesak merupakan bentuk ketidakadilan, apalagi bila perusahaan tetap menerima manfaat tanpa memberi kompensasi.

Hak Itu Bukan Tambahan, Tapi Kewajiban

Guru Besar Hukum Perburuhan UI, Prof. Aloysius Uwiyono, menyatakan bahwa atasan memang boleh memberikan perintah kerja melalui WhatsApp—selama masih dalam jam kerja. Tapi jika dilakukan saat cuti, itu termasuk lembur dan wajib dikompensasi.

Nabi Muhammad ﷺ pun bersabda:

“Berikanlah hak kepada orang yang berhak menerimanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mempertegas bahwa setiap orang berhak mendapatkan haknya secara proporsional. Termasuk hak untuk benar-benar istirahat saat cuti.

Bila karyawan diganggu selama cuti, maka perusahaan tidak sedang menjalankan keadilan sebagaimana mestinya.

Dalam Islam, juga dikenal prinsip la dhoror wa la dhiror (Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain).

Meminta karyawan bekerja saat cuti bisa membawa risiko pada kesehatan dan produktivitas dalam jangka panjang.

Lalu Solusinya Gimana?

Menghormati waktu cuti merupakan tanggung jawab moral sekaligus bentuk kepatuhan terhadap prinsip keadilan dalam syariat.

Perusahaan dapat membangun sistem kerja yang memungkinkan pekerjaan tetap berjalan tanpa bergantung pada individu yang sedang cuti.

Jika memang ada keadaan darurat, komunikasi harus dilakukan dengan jelas dan sopan. Selain itu, tawarkan kompensasi sebagai bentuk penghargaan atas kesediaan membantu di luar jam kerja.

Contoh sederhana:

“Kak, mohon bantuannya, ya karena ini mendesak banget dan perusahaan juga akan memberikan kompensasi tambahan untuk tugas tambahan ini.”

Dengan pendekatan seperti ini, hubungan profesional tetap terjaga dan semua pihak merasa dihargai. Semua senang.

Jika pengalaman ini terasa akrab, tidak ada salahnya membagikan tulisan ini ke rekan kerja atau HR. Siapa tahu, pelan-pelan budaya kerja yang lebih sehat bisa tumbuh—di mana cuti benar-benar berarti istirahat.

(***)